SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA (SKNBI)

DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERBANKAN

Latar Belakang

Dewasa ini seiring dengan perkembangan perdagangan, dunia perbankan turut pula berkembang. Maju tidaknya perdagangan suatu Negara diantaranya didukung oleh kelancaran dari lalu lintas sistem pembayaran[1] yang merupakan bagian dari dunia perbankan. Sistem pembayaran yang menjamin aliran dana aman dan efisien serta berisiko rendah dapat mempermudah pelaku perdagangan mempergunakan akses terhadap berbagai keperluan pembayaran atas transaksi yang dilakukan pada akhirnya akan berdampak positif pada tingkat perekonomian suatu Negara. Risiko ketidak lancaran dan/atau kegagalan sistem pembayaran akan berdampak negatif pada kestabilan perekonomian secara keseluruhan. Oleh karenanya, sistem pemebayaran perlu dijaga keamanan dan kelancarannya oleh suatu lembaga, dan umumnya dilakukan oleh Bank Sentral.

Berkaitan dengan hal tersebut, pasal 8 Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 1999 (selanjutnya ditulis UU Bank Indonesia), mengamanatkan bahwa Bank Indonesia (selanjutnya ditulis BI) sebagai Bank Sentral Republik Indonesia[2] mempunyai tugas; menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi Bank[3]. BI diberi tugas demikian dengan maksud mencapai kestabilan nilai rupiah. Juga dalam rangka mengantisipasi pesatnya pertumbuhan volume transaksi di masa-masa mendatang, BI telah merancang suatu blueprint sistem pembayaran nasional[4]. Sistem ini mencakup empat prinsip utama dalam pengambilan kebijakan sistem pembayaran. Keempat prinsip kebijakan sistem pembayaran ini adalah meminimalisasi risiko, optimalisasi efisiensi, kesetaraan akses, dan prinsip perlindungan konsumen sistem pembayaran. Penyelenggaraan sistem pembayaran di Indonesia menggunakan lembaga kliring[5] yang dilaksanakan secara:

1. Manual yaitu sistem perhitungan antar bank dimana pelaksanaan fungsi perhitungan, pembuatan daftar, penolakan, pengecekan penyesuaian, dan distribusi warkat dilakukan secara manual oleh penyelenggara maupun oleh bank peserta kliring.

2. Semi Otomasi Kliring Lokal (SOKL) yaitu sistem perhitungan antar bank berupa penggabungan data, pembuatan daftar dan laporan dilakukan oleh penyelenggara secara komputerisasi, sedangkan kegiatan pengecekan penyesuaian dan distribusi warkat kliring dilakukan oleh masing-masing peserta kliring secara manual.

3. Otomasi Kliring yaitu pelaksanaan fungsi-fungsi kliring seperti pemilihan, perhitungan, pembuatan laporan dilakukan oleh penyelenggara dengan bantuan perangkat komputer.

4. Sistem Kliring Elektronik yaitu sistem kliring yang dilaksanakan atas data kliring elektronik yang dikirim bank peserta kliring dari terminal peserta kliring melalui jaringan komunikasi data ke Sistem Kliring Elektronik penyelenggara disertai dengan penyampaian warkat kliring.

Dari keempat sistem tersebut di atas, telah terjadi beberapa perubahan sebagaimana yang telah dilakukan oleh BI, yaitu menerapkan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (selanjutnya ditulis SKNBI) yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 7/18/ PBI/ 2005. SKNBI adalah sistem Kliring BI yang meliputi Kliring debet dan Kliring kredit yang penyelesaiannya dilakukan secara nasional. Adapun tujuan dari SKNBI adalah[6] :

1. Bagi Bank Indonesia

a. Efisiensi waktu dan biaya, khususnya dalam hal:

1) Operasional kliring dengan ditiadakannya fisik warkat kredit;

2) Maintenance aplikasi kliring dengan digunakannya sistem yang terintegrasi di seluruh wilayah kliring

b. Tersedianya jangkauan transfer antar bank melalui kliring yang lebih luas dengan diakomodirnya kliring antar wilayah untuk transfer kredit.

c. Memenuhi prinsip-prinsip manajemen risiko dalam penyelenggaraan kliring yang bersifat multilateral netting[7] sesuai dengan Core principles yang dikeluarkan oleh Bank for Internatiional Settelements (BIS).

2. Bagi Bank

a. Efisiensi biaya operasional dalam percetakan dan proses administrasi warkat kredit.

b. Semakin luasnya jangkauan layanan bank kepada nasabah.

Pengertian dari Sistem Kliring Nasional mengacu pada Peraturan Bank Indonesia (PBI Nomor 7/ 18/ 2005) dalam pasal 1 angka 5 adalah sistem kliring BI yang meliputi Kliring Debet dan Kliring Kredit yang penyelesaiannya dilakukan secara nasional.

Tak kalah pentingnya dalam implementasi SKNBI ini adalah sebagai upaya penerapan prinsip-prinsip perlindungan konsumen, maka diatur mengenai kewajiban dan tanggung jawab Peserta pengirim dan Peserta penerima dalam mengkliringkan perintah transfer debet dan transfer kredit yang diterima dari nasabahnya serta kewajiban dan tanggung jawab Peserta pengirim dan Peserta penerima untuk meneruskan dana kepada nasabahnya.

Karakteristik SKNBI

SKNBI terdiri dari 3 (tiga) komponen utama sebagai berikut :

1. Sistem Sentral Kliring (SSK) merupakan komponen perangkat keras dan perangkat lunak yang digunakan oleh Penyelenggara Kliring Nasional (PKN yakni BI Pusat).

2. Komputer Penyelenggara Kliring (KPK) merupakan komponen perangkat keras dan perangkat lunak yang digunakan oleh Penyelenggara Kliring Lokal (PKL yakni Kantor Bank Indonesia).

3. Terminal Peserta Kliring (TPK) merupakan komponen perangkat keras dan perangkat lunak yang digunakan oleh peserta.

Pengiriman Data Keuangan Elektornik (selanjutnya ditulis DKE)[8] dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Untuk TPK yang terhubung dengan SSK[9] (TPK online), pengiriman DKE dilakukan

melalui JKD (Jaringan Komunikasi Data); sedangkan

2. Untuk TPK yang tidak terhubung dengan SSK (TPK offline), pengiriman DKE dilakukan dengan mengunakan media rekam data elektronis (disket, flashdisk, atau CD) yang disampaikan kepada PKL.

Untuk kepentingan pembukuan hasil kliring ke rekening nasabah, peserta dapat memperoleh DKE inward dan laporan hasil kliring. Untuk memperoleh DKE inward dan laporan hasil kliring tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Untuk TPK online, peserta dapat men-download DKE inward ,dan laporan hasil kliring dari SSK; sedangkan

2. Untuk TPK offline, peserta hanya dapat memperoleh DKE inward dari PKL dengan

menggunakan media rekam data elektronis (disket, flashdisk, atau CD) sedangkan laporan hasil kliring akan diberikan dalam bentuk hardcopy.

Dalam hal penyelesaian akhir, penyelenggaraan Kliring Kredit maupun Kliring Debet dilakukan oleh PKN berdasar hasil perhitungan net multilateral berdasar prinsip pembaharuan hutang[10] (novation) dan prinsip same day settlement[11], bersifat final dan tidak dapat dibatalkan[12].

Rumusan Masalah

Terkait dengan pelaksanaan SKNBI, terdapat risiko kegagalan pembayaran, maka bagaimana kedudukan hukum para pihak dan bagaimana penyelesaian apabila terjadi kegagalan pembayaran ?

Kesimpulan

a. Kedudukan para pihak diatur menurut hubungan hukum yang terjadi di antara para pihak di antaranya, hubungan hukum antara nasabah pengirim dengan bank pengirim diatur dalam perjanjian kuasa pendebetan rekening (standing instruction); hubungan hukum antara nasabah pengirim dengan penyelenggara kliring diatur dalam perjanjian penggunaan SKNBI; hubungan hukum antara bank penerima dengan penyelenggara kliring juga diatur dalam perjanjian penggunaan SKNBI; hubungan hukum antara bank pengirim dengan bank penerima diatur dalam perjanjian pemberian kuasa; hubungan hukum antara bank penerima dengan nasabah penerima sebagai nasabah penyimpan dana atau nasabah yang tidak memiliki rekening; hubungan hukum antara nasabah pengirim dengan nasabah penerima adalah dilatar belakangi adanya perjanjian (underlying transaction).

b. Kualifikasi kegagalan pembayaran Bentuk ganti rugi para pihak antara lain; kompensasi berupa bunga yang besarnya ditentukan jenis kesalahan yang dilakukan; dengan prinsip bagi hasil terhadap bank atau unit usaha syariah; klaim useof fund; dan biaya administrasi tolakan.

Saran

a. Ketentuan PBI no.7/ 18/ PBI/2005, tidak menyebutkan kualifikasi kegagalan pembayaran yang dilakukan oleh penyelenggara SKNBI, yakni BI. Tidak tertutup kemungkinan kegagalan pembayaran dapat disebabkan karena kesalahan yang dilakukan oleh penyelenggara SKNBI. Disarankan, ada ketentuan yang mengatur tentang kegagalan pembayaran oleh penyelenggara dan bentuk ganti rugi yang dapat dibebankan kepada pihak penyelenggara SKNBI.

b. Penyelesaian perselisihan di antara para pihak bilamana terjadi kegagalan pembayaran dalam SKNBI, hendaknya menggunakan mekanisme mediasi perbankan sebagaimana diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang mediasi perbankan.

c. Dalam ketentuan PBI no.7/ 18/ PBI/2005, yang berhak untuk mendapatkan ganti rugi berupa bunga atau bagi hasil, atas kegagalan pembayaran, hanyalah nasabah pengirim atau nasabah penerima yang memiliki rekening di bank pengirim atau bank penerima. Nasabah pengirim atau nasabah penerima yang tidak memiliki rekening, tidak berhak atas bunga atau bagi hasil. Hal yang demikian tentunya bertentangan dengan prinsip keadilan. Disarankan, adanya ketentuan dalam SKNBI tentang perlakuan yang sama terhadap nasabah yang tidak atau memiliki rekening.



[1] Sistem Pembayaran adalah suatu sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, mekanisme, yang digunakan untuk melakukan pemindahan guna memnuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang BI sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 1999 selanjutnya ditulis UU Bank Indonesia)

[2] Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku (Pasal 1 angka 20 UU Perbankan)

[3] Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998. (Pasal 1 angka 1 PBI no.7/ 18/ PBI/2005)

[4] http://www.pikiran-rakyat .com/cetak/2005/0705/20/0603.htm diakses pada tanggal 10 Agustus 2006 pukul 10.30 WIB

[5] Kliring adalah pertukaran warkat atau data keuangan elektronik antar peserta kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu (Pasal 1 angka 5 PBI no.7/ 18/ PBI/2005)

[6] http://www.bi.go.id, ibid., h.2

[7] Multilateral netting adalah kegiatan setiap bank dalam membuat satu posisi final untuk semua bank mitra kerjanya (korespondennya), sehingga akan ada satu penyelesaian akhir untuk setiap bank dan prosesnya dilakukan oleh lembaga kliring yang menerima semua instruksi pembayaran, menghitung posisi net multilateral setiap bank peserta, dan menyampaikannya kepada bank sentral yang akan membukukannya pada rekening masing-masing bank. Subari, Mulyati, dan Ascarya. Kebijakan Sistem Pembayaran Di Indonesia. PPSK, Jakarta. 2003 h.34

[8] DKE adalah data transfer dana dalam format elektronik yang digunakan sebagai dasar perhitungan dalam SKNBI. (Pasal 1 angka 14 PBI No: 7/ 18/PBI/2005)

[9] Sistem Sentral Kliring adalah (selanjutnya ditulis SSK) adalah sistem komputer yang digunakan oleh PKN untuk menyelenggarakan SKNBI secara nasional. (Pasal 1 angka 20 PBI No: 7/ 18/PBI/2005)

[10] Pembaharuan hutang terjadi karena PKN menggantikan kedudukan Bank sebagai pihak yang memiliki hak dari atau kewajiban kepada Bank lainnya dalam penyelenggaraan SKNBI. (Penjelasan Pasal 13 ayat 2 PBI No: 7/ 18/PBI/2005)

[11] prinsip same day settlement adalah prinsip Penyelesaian Akhir yang diterapkan pada tingkat Bank, yaitu:

a. Dalam penyelenggaraan Kliring Debet, Penyelesaian Akhir dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya DKE Debet dari Peserta oleh PKL; dan

b. Dalam penyelenggaraan Kliring Kredit, Penyelesaian Akhir dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya DKE Kredit oleh PKN dari Peserta atau PKL. (Penjelasan Pasal 13 ayat 4 PBI No: 7/ 18/PBI/2005)

[12] Prinsip ini merupakan pengecualian dari prinsip zero hour rules,sehingga apabila Peserta dicabut izin usaha dan dilikuidasi, atau nasabahnya nasabahnya dipailitkan, transaksi yang sudah dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan pencabutan izin usaha dan likuidasi ataupailit tidak menjadi batal. (Penjelasan Pasal 13 ayat 3 PBI No: 7/ 18/PBI/2005)